Postingan

Ada Maksud

Tahun lalu ramadhan di kost Johar Baru. Masak bareng, tarawih juga. Masih single dan bersegel. Tahun ini bukan jadi double lagi tapi tripel. Alhamdulillah Allah hadirkan pelipur laraku disaat aku lelah karena harus gagal tes cpns yang sudah aku persiapkan dengan matang. Disela-sela kehamilanku yang semakin membesar. Aku masih sibuk belajar deret dan serangkaian soal matematika sederhana. Ya memang sederhana karena yang bikin rumit durasi waktunya. Lalu beralih belajar materi promosi kesehatan yang memang bukan bidangku. Melahap buku-buku tebal. Memghatamkan soal-soal youtube. Tak lantas membuatku lulus. Mungkin memang belum saatnya. Mungkin Allah ingin memberiku nikmat secara perlahan. Mendapat suami yang baik, luman, tidak kasar, meski kadang cuek merupakan berkah dari doa-doa orang tua. Selepas menikah dan langsung hamil merupakan nikmat terbesar mengingat kami sama-sama anak sulung. Cucu pertama sangat dinanti kedua belah pihak keluarga besar. Eh belum lama tiba-tiba naik gaji. Tiba

Mencintaimu

Komitmen untuk hidup bersama mendampingi seseorang yang akan memberi warna baru dihidup kita tentu tidak mudah. Karena warna yang diberikan tidak mungkin selalu cerah bukan?. Tapi bukan tidak mungkin, jika kita bisa menikmati meski dalam temaram. Semua itu pilihan.  Terlahir sama-sama menjadi anak pertama dengan keras kepala yang sama dan egoisme tinggi kukira akan menjadi suatu masalah yang besar. Nyatanya kita justru sibuk mengalah satu sama lain. Terbiasa berbagi semenjak kecil menjadikan sifat penyayang kitalah yang lebih dominan. Walau tak terungkap bahkan terucap, cinta itu selalu terasa.  Mencintai memang sebuah perjalanan. Aku tak pernah ingin menggapai ujungnya. Tak pernah ingin tahu muaranya. Kunikmati proses senang, sedih, haru, marah, kecewa dan serangkaian perasaan yang membuatnya tetap hidup. Tetap membara. Aku selalu berusaha mencintaimu dengan sabar dan sadar. Meyakini bahwa iman saja bisa naik turun. Mengimani bahwa engkau adalah milikNya. Aku tak ingin mencintaimu den

Deep talk

Sendiri dan sepi adalah paket yg pas untuk bermuhasabah diri. Memetakan mana hal-hal yang masih harus diperjuangan, mana pula yang memang sudah waktunya direlakan. Beberapa hal memang tidak bisa kita atur, tak bisa kita kendalikan termasuk rasa. Umurku masih hampir 23. Beberapa teman sudah menikah bahkan sudah hampir 80% teman SDku sudah berkeluarga. Sedang diriku, berlabuh saja masih ragu-ragu. Aku menyadari bahwa aku sudah bukan anak-anak lagi. Pun juga aku masih mengelak bila ada yang mengatakan aku sudah dewasa. Beberapa orang menasehatiku untuk tak menjadi pemilih. Sedang diriku selalu bertanya-tanya, bagaimana aku memilih apabila pilihannya saja tidak ada. Aku bukan tipe yg neko-neko. Aku hanya sendiko dawuh sama perkataan orang tua. Sayangnya, sampai sekarang orang tuaku juga masih santai. Kok "sayangnya ya?" kaya sudah ngebet banget. Haha Sejujurnya kalau aku bertanya pada diriku sendiri, aku belum siap. Aku membayangkan bahwa menikah bukan hanya masalah kita berba

No Body but You

Saat orang lain membaca agar mengingat justru aku menulis untuk tidak melupakan. Tulisan ini tentang pengalaman bahwa apa yang kita ucapkan entah baik buruknya pasti memberikan efek entah besar atau kecil. Dulu, bahkan sangat dulu sekali aku sudah mengalami yang namanya dibully. Pembulian pertama dimulai saat SD ketika akhirussanah atau semacam wisuda TPQ, seorang laki-laki yang sewaktu itu menurutku ganteng mengatakan bahwa aku jelek dan pendek tapi untung bajunya bagus. :') Memang sepele, tapi ini yang sampai saat ini melekat pada benakku kalo aku ternyata perempuan yang tidak cantik. Sampailah pada jenjang SMP. Setelah menstruasi ternyata tinggi badanku melejit. Dulu, aku slalu foto dibarisan depan karena pendek tapi setelah itu aku masuk pada kategori perempuan tinggi. Permasalahan baru muncul. Aku justru terlihat kurus. Jadi selain jelek akupun kurus, predikat pendek digantikan dengan predikat kurus. Orang tuaku bukan tipe penuntut maupun penuntun. Mereka lebih membiasaka

Tentang Larangan

Beberapa menit lalu banyak tulisan yg 'kutulis, kuhapus, kutulis lagi, kuhapus lagi'. Menulis bukan menjadi 'rekreasi'ku lagi. Dulu, aku cukup merasa damai ketika membiasakan diri selalu menulis sebelum tidur. Menurutku, menulis itu wujud refleksi, yg terkadang daripadanya kutemukan banyak sekali hal yg telah terlalui secara 'baik-baik' saja. Tetapi justru aku terusik dg hal kecil yg membuat gelisah. Kecil sekali. Tapi cukup.  Hari ini, aku berhasil melarang temanku untuk tak langsung marah pada kekasihnya yg terlambat menjemputnya. Karena aku pernah mengalaminya. Berpura-pura baik-baik saja itu menyakitkan. Pun berniat agar orang yg kita marahi itu sadar dan meminta maaf itu juga menyesakkan. Jadi keduanya sama saja.  Kata seseorang, kita hanya butuh momentum. Iya, kita harus marah disaat yg tepat. Aku pernah marah disaat yg kurang tepat jadi aku melarangmu supaya tak sepertiku.  Karena sejatinya, yg kita perlukan hanyalah menarik napas lebih dalam. Mem

Tulisan tak Bernyawa

Entah ini peluh keberapa yang tak sengaja terlinang. Sebenarnya, masih berada di penghujung mata yang dengan mati-matian kutahan. Tapi akhirnya tak tertahankan. Jujur, tanpamu, aku sudah kehilangan banyak kosa kata. Kata-kataku menjadi tak bernyawa. Pun juga diriku tak lagi manis dan tak bisa romantis. Kenapa aku menjadi gugu seperti ini. Jari-jariku seperti kaku. Otakku membeku.

Tentang Sesuatu

Indera kita terbatas, bisa jadi melihat banyak hal tapi sedikit mengerti, menerima banyak hal tapi tak cukup memahami. Kita butuh orang lain. Butuh penerjemah hal-hal yg masih buta dimata kita, butuh seseorang untuk mengatakan apa yg masih tersembunyi dan memberitahu apa yg seharusnya. Memori kita terbatas, bisa jadi kita hanya mengingat hal2 buruk dan menyepelekan hal-hal baik, yg memang terlalu kecil dan remeh untuk diingat. Tapi lagi-lagi kita butuh seseorang. Yg menjadi brangkas dari cerita-cerita kita. Pun kita juga sama menyediakan telinga bagi mereka. Menjadi penegur tapi tak melebur, menjadi pengingat tapi juga tak menghujat. Kita hanya sama2 menjadi mulut tapi juga tak menyulut-nyulut.  Lagi-lagi, berbagi tak semudah itu. Ada percaya didalamnya, ada janji yg terkadang menjadi bumbu cerita, ada luput yg tak sengaja disebut dan hal hal lain yg membuatnya tak jadi sederhana.